Selasa, 19 April 2016

PENYAKIT VON WILLEBRAND

TUGAS
TINJAUN PUSTAKA
Penyakit Von Willenbrand




Oleh:
Erly Tibyan Wahyuly
H1A014022


Fakultas Kedokteran
Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat
Blok XI Hematopoetik dan Limforetikuler
April 2016



KATA PENGANTAR
Segala puji penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis bisa menyelasikan tugas tinjaun pustaka dengan judul Penyakit Von Willebrand ini dengan tepat waktu dan sesuai petunjuk pengerjaan tugas. Terimakasih penulis haturkan kepada ibu, bapak, dan teman-teman yang selalu menyemangati dan memfasilitasi, serta koordinator blok XI dr. Mohammad Rizky, M.Pd.Ked., Sp.PK yang selalu ikhlas memberikan dukungan dan pengarahan dalam pelaksanaan pembuatan tugas ini.
Tinjauan pustaka ini terdiri dari pendahuluan, definisi dan etiologi, epidemiologi, klasifikasi dan patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanaan, dan penutup berupa kesimpulan mengenai penyakit von Willenbrand. Penulis berharap semoga tinjauan pustaka ini dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa kedokteran untuk memahami materi terkait. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis untuk pembuatan tinjauan pustaka selanjutnya


Mataram,   15 April 2016

  Penyusun
(Erly Tibyann Wahyuly)





                                                                                                                                               
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI
.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1

BAB II ISI
2.1 Definisi dan Etiologi.............................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi.......................................................................................................... 2
2.3 Klasifikasi dan Patogenesis.................................................................................... 3
2.4 Diagnosis................................................................................................................ 5
2.5 Penatalaksanaan..................................................................................................... 10

BAB III PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan............................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 13

I. PENDAHULUAN

Sistem hemostasis adalah sistem yang berfungsi untuk mempertahankan darah di dalam tubuh tetap cair sehingga dapat mengalir dengan baik di dalam tubuh. Sistem ini bertanggung jawab untuk menjaga tubuh dari kejadian perdarahan atau trombosis yang berlebihan[1]. Proses ini terdiri dari dua tahapan yaitu hemostasis primer yang diperankan oleh vaskular dan trombosit dan hemostasis sekunder yang diperankan oleh sistem koagulasi dan fibrinolisis dimana gangguan pada salah satu komponen yang berperan dalam proses ini akan megakibatkan ketidakseimbangan pada proses perdarahan dan trombosis[2].
Kelainan-kelainan pada sistem ini dapat terjadi sebagai kelainan didapat maupun kelainan  herediter. Bersama dengan penyakit hemofilia A, penyakit von Willebrand merupakan kelainan herediter yang paling sering dijumpai[3] dimana terjadi pada 1% dari populasi[4].
Penyakit von Willebrand adalah keadaan klinis yang diakibatkan oleh kekurangan faktor von Willebrand yang ditemukan pertama kali oleh Erick A Von Willebrand pada tahun 1926. Faktor von Willebrand adalah suatu glikoprotein multimer yang disintesis oleh sel megakariosit dan sel endotel. Faktor ini sangat berperan dalam proses pembekuan darah baik dalam hemostasis primer maupun sekunder[5]. Dalam hemostasis primer, faktor ini  berperan sebagai  jalan trombosit untuk melekat pada subendotel pembuluh darah. Sementara dalam hemostasis sekunder, faktor ini berperan sebagai pembawa faktor VIII aktif dan mencegah degradasi akibat proteolitik yang ada di plasma. Oleh karena itu, defisiensi dari faktor ini mengakibatkan gangguan pada proses pembekuan darah. Dalam hal ini, waktu pembekuan darah akan memanjang dan mengakibatkan perdarahan yang berlebihan[6].



II. ISI

2.1         Definisi dan Etiologi
Penyakit von Willebrand adalah penyakit  yang diakibatkan oleh defisiensi faktor von Willebrand. Penyakit ini merupakan penyakit keturunan yang diturunkan secara autosomal dominan. Namun, pada kejadian yang sangat jarang penyakit ini diturunkan secara resesif autosomal[3] Sementara ini, terdapat dua kromosom yang berperan dalam penyakit ini yaitu (1) yang terletak di dekat ujung lengan pendek kromosom 12 (2) kromosom 22 yang mengalami duplikasi[7]. Meskipun penyakit ini dikatakan sebagai penyakit keturunan, kemungkinan timbul secara didapat masih ada, yaitu dengan mekanisme autoimun terhadap inhibitor protein von Willebrand[8]

2.2         Epidemiologi

Grafik 1[4]
Di negara-negara barat, penyakit von Willebrand dengan perdarah berat dan mengancam jiwa hanya ditemukan pada kurang dari 5/1 juta orang dan diderita hampir oleh 1% dari populasi[7,8]. Seperti yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, penyakit ini diturunkan paling banyak secara dominan autosomal yaitu sebanyak 1/100 – 3/100.000 orang. dalam hal ini, tidak semua anak yang mewarisi gen abnormal akan menderita penyakit ini, tetapi hanya 30-40% dari mereka yang memperlihatkan gejala yang nyata. Pada anak yang mewarisi secara resesif autosomal, penyakit ini cenderung asimtomatik hanya menunjukkan faktor von Willebrand yang abnormal pada pemeriksaan[8]
Dilihat dari jenis kelamin, frekuensi pembawa alel mutan faktor von Willebrand  antara laki-laki dan perempuan adalam sama. Namun, perempuan dengan penyakit ini lebih sering menujukkan gejala perdarahan yaitu 2:1. Hal ini dikaitkan dengan perempuan mengalami menstruasi setiap bulannya, mengandung, dan melahirkan[4]. Selain itu, hal ini juga dikaitkan dengan kecenderungan wanita mengalami memar lebih besar dibandingkan laki-laki[7] Pada grafik 1 digambarkan bawha 95% wanita dengan penyakit ini mengalami perdarahan berat saat menstruasi, perdarahan setelah luka ringan sebesar 92%, dan perdarahan berat pada gusi sebesar 76%[4].

2.3         Klasifikasi dan Patogenesis
          Sebelum membahas tentang perjalanan penyakit von Willebrand, sebaiknya kita mengenali terlebih dahulu tentang faktor von Willebrand. Faktor ini adalah faktor yang sangat penting pada proses hemostasis baik dalam hemostasis primer maupun  sekunder. Secara fisologis, faktor ini merupakan glikopretein multimer dengan berat molekul bermacam-macam yaitu 500 kDa – 10.000 kDa yang terdapat pada sirkulasi dan subendotel[1]. Fungsi terpenting dari faktor ini adalah mengaktivasi sistem koagulasi dengan cara membantu perlekatan trombosit dalam pembuluh darah yang rusak. Saat pembuluh darah mengalami cidera atau trauma, faktor von Willebrand akan teraktivasi dan akan segera mengkat trombosit melalui reseptor glikoprotein Ib dan IIb/IIIa (gambar 1). Selain itu, faktor ini juga berperan sebagai carier faktor VIII dan akan terlepas dari faktor VIII saat faktor VIII diaktivasi oleh trombin dan menjalankan fungsi koagulasinya[3].
          Terkait dengan fungsinya, defisiensi dari faktor ini mengakibatkan terjadinya perdarahan. Patogenesis dari perdarahan akibat penyakit ini dapat dijelaskan melalui klasifikasinya. Penyakit von Willebrand diklasifikasikan menjadi tiga subtipe diantaranya[3,8-9]:



                                                   Gambar 1[3]
1.      Tipe I
     Tipe ini merupakan tipe tersering dari penyakit von Willebrand yaitu 65-85% kasus[9]. Tipe ini ditandai dengan penurunan jumlah dari faktor von Willebrand di dalam sirkulasi. Namun, pada 1,4% keluarga yang  membawa alel von willenvrand, jumlah faktor von Willebrand tetap dalam keadaan normal. Oleh karena itu, tipe ini diklasifikasikan sebagai penyakit von Willebrand yang paling ringan[8].
     Sebagaimna yang telah dipaparkan diatas, salah satu fungsi dari faktor ini adalah menstabilkan faktor VIII sehingga pengurangan dari jumlahnya akan mengakibatkan  penurunan sekunder kuantitas dari faktor VIII[3]. Mutasi yang terjadi pada gen pengkode faktor von Willebrand dalam tipe ini mengakibatkan abnormalitas pada proses transkripsi, proses splicing, kelainan subselular pada proses penargetan, penyimpanan, dan sekresi[9].
2.      Tipe II
          Tipe ini memiliki presentasi kejadian sebesar 20-35%[9]. Tipe ini menunjukkan ciri khas berupa hilangnya multimer faktor von willenbrand dengan berat molekul yang tinggi[3]. Dalam perkembangannya, tipe II penyakit von Willenbrand diklasifikasikan lagi menjadi empat subtipe yaitu tipe IIA, IIB,  IIM, dan IIN[3,8-9].
           Tipe 2A dimana pada tipe  ini terjadi defisiensi yang sangat nyata akibat dari multimer bermolekul tinggi tidak disintesis sama sekali. Akibat dari tidak disintesisnya multimer bermolekul tinggi, multimer yang beredar dalam sirkulasi adalah multimer bermolekul kecil sehingga trombosit tidak dapat berikatan dengan baik[3] dan hanya terjadi proses proteolisis[9].
          Tipe IIB merupakan tipe penyakit von willenbrand yang ditandai dengan meningkatnya afinitas faktor von Willebrand pada trombosit GP1b. Hal ini diakibatkan karena mutasi mengakibatkan perubahan formasi pada bagian faktor von willenbrand  yang akan berikatan dengan reseprot Ib (GPIb) sehingga faktor von willenbrand berikatan dengan reseptor Ib tanpa melekat pada subendotel pembuluh darah. Ketika hal tersebut terjadi, plasma akan membersihkannya dengan cepat. Oleh karena itu, terjadilah defisiensi multimer berberat molekul tinggi (karena memiliki afinitas paling baik dengan trombosit GP1b) dan trombositopenia[9].
          Tipe IIM berdampak pada rusaknya ikatan antara faktor von willenbrand dengan platelet GP1bα yang diakibatkan oleh mutasi dominan A1 faktor von willenbrand[9]. Oleh karena itu, variasi dari penyakit tipe ini sangat bergantung dari jumlah trombosit yang tidak dapat berikatan dengan faktor von Willebrand[8]. Tipe terakhir dari tipe II adalah tipe IIN dimana tipe ini terjadi akibat adanya mutasi pada faktor von Willenbrand yang mengurangi afinitas perlekatan faktor von Willebrand dengan faktor VIII[9].
3.      Tipe III
          Tipe ini merupakan tipe terberat dari penyakit von Willebrand dan relatif jarang terjadi[8] yaitu kurang dari 5%[9]. Mutasi pada VWF yang menyebabkan VWD tipe 3 biasanya merupakan mutasi nonsense atau frameshift karena adanya insersi kecil atau delesi. Dalam tipe ini, mutasi tersebut mengakibatkan pencegahan dari biosintesis dan sekresi dari faktor von willenbrand[9].

2.4         Diagnosis
          Terdapat beberapa hal yang diperlukan untuk mendiagnosis penyakit von Willebrand diantaranya adanya kesesuain yang tinggi dengan manifestasi klinis penyakit dan ketepatan dalam memanfaatkan pemeriksaan laboratorium. Gambaran klinis dari penyakit yang paling sering dijumpai pada pasien adalah perdarahan pada gusi, epistaksis, perdarahan saluran urinaria, darah dalam tinja, mudah memar, dan perdarahan saat menstruasi, dan hemarthrosis, serta perdarahan jaringan dalam tubuh. Untuk pemanfaatan pemeriksaan laboratorium, dugaan penyakit ini harus benar-benar kuat karena pemeriksaan laboratorium dari penyakit ini sangat beragam dan membutuhkan biaya yang cukup besar[8].
          Pada saat anamnesis, riwayat perdarahan harus diperhatikan dengan seksama baik dari diri pasien sendiri maupun dari keluarga. Mengenai hal tersebut, dokter harus mendapatkan data mengenai spontanitas dan keparahan dari perdarahan, tempat dan sumber perdarahan, waktu perdarahan berupa frekuensi, durasi, dan onset, jenis luka yang menyebabkan perdarahan, dan faktor-faktor yang dapat memperberat dan memperingan perdarahan. Selain hal itu, riwayat penggunaan obat-obatan seperti aspirin, NSAID, klopidogrel, warfarin, atau heparin juga harus ditanyakan. Untuk lebih jelasnya, gambar 2 menjelaskan tahap-tahap untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan penyakit von Willebrand[10].
          Dari gambar 2 tersebut, jika tiga pertanyaan dan riwayat perdarahan pada keluarga positif maka dilanjutkan dengan pertanyaan sesi dua yang tertera di box. Jika pertanyaan sesi dua terjawab satu atau lebih maka periksaan dapat  dilanjutkan dengan cek laboratorium. Namun sebelum itu, pemeriksaan fisik harus dilakukan[10].  
          Pada pemeriksaan fisik, pemeriksa harus memastikan secara langsung bukti-bukti adanya perdarahan. Dalam hal ini, pemeriksa harus memerhatikan besar sumber perdarahan, lokasi, penyebaran dari ekimosis, ptekie, dan bukti-bukti perdarahan sebelumnya. Selain itu, pemeriksa juga harus memperhatikan kemungkinan penyebab-penyebab lain yang dapat meningkatkan perdarahan seperti, penyakit hati, splenomegali, telangiektasia, perdarahan akibat masalah ginekologi, arthropathy, dan tanda-tanda anemia[10].



Gambar 2[10].

 

          Penegakan diagnosis selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium dari penyakit von Willebrand biasanya merupakan hasil positif dari beberapa hal diantaranya: pemanjangan Bleeding Time (BT); penurunan kadar faktor von Willebrand plasma; penurunan aktivitas biosintesis dengan melihat kadar ristosetin; dan penurunan aktivitas faktor VIII[9]. Jika kita memperhatikan algoritma pemeriksaan laboratorium dari penyakit ini (gambar 3), pemeriksaan laboratorium awal dilakukan untuk mengkonfirmasi kelainan hemostasis. Jika hasil positif, pemeriksaan laboratorium dilanjutkan untuk konfirmasi penyakit von Willebrand[10].
         

                                                                  Gambar 3[10]
          Untuk pemeriksaan hemostasis terkait penyakit von Willebrand, pemeriksaan harus terdiri dari pemeriksaan BT, hitung trombosit, PT, dan APTT[8,10]. Hal yang harus diingat adalah pada penyakit tipe I, hasil pemeriksaan dapat normal terutama hasil hitung trombosit, tetapi jika keadaan penyakit tipe I ini berat maka BT akan memanjang sekitar 15-30 menit. Pada kasus dengan kekurangan faktor von Willebrand, APTT akan memanjang akibat kelainan pada ikatan antara faktor von Willebrand dengan faktor VIII[8]. Jika perdarahan mukokutaneus sangat berat, maka lanjutkan pemeriksaan khusus untuk penyakit von Willebrand[10].

Pemeriksaan laboratoriumm untuk penyakit ini terdiri dari: pemeriksaan aktivitas VIII:C yang dapat dilihat dari kemampuan plasma untuk mengoreksi pemanjangan APTT pada plasma yang kekurangan faktor VIII; menggunakan essay enzyme-like immunosorbent atau immunoassay untuk  menghitung Ag:FVW; menggunakan elektroforesis gel agarosa untuk mengukur bersar molekul multimer faktor von Willebrand. Pengukuran dari multimer faktor von Willebrand ini sangat penting untuk mengetahui tipe dari penyakit pasien karena berkaitan untuk menentukan terapi; aktivitas faktor von Willebrand, hal ini dilakukan dengan agrometer yaitu dengan mencampurkan ristocetin, plasma, dan trombosit normal[8]. Ristosetin dalam hal ini akan mengikat trombosit dan mengakibatkan interaksi antara faktor von Willebrand dan reseptor Ib di membran trombosit sehingga derajat aglutinasi akan menentukan banyaknya plasma sebagai bioassay faktor von Willebrand[3]. Berikut adalah hasil laboratorium dari masing-masing tipe penyakit von Willebrand, tabel 1.
                   

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam interpretasi hasil laboratorium aktivitas faktor von Willenbrand diantaranya: golongan darah tipe ABO; kelainan sistem saraf pusat; adanya inflamasi; dan kehamilan. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan faktor von Willenbrand dalam plasma[8]. Dilihat dari golongan darah, pasien dengan golongan darah tipe ABO memiliki kadar faktor von Willenbrand 25% lebih tinggi dari golongan darah tipe O[10]. Tabel 2 adalah kadar normal faktor von willenbrand dalam plasma berdasarkan golongan darah.
                                     *meningkat dengan aspirin
                                                                        Tabel 1[8]
                  


2.5         Penatalaksanaan
Hal yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana inin adalah ketika pasien datang dengan keadaan perdarahan kritis, jika terjadi hal demikian maka diagnosa pasti dari penyakit von Willebran dapat ditunda. Tatalaksana dalam hal ini disesuaikan dengan hal-hal yang potensial untuk pasien diantaranya: menghentikan obat yang mengakibatkan perdarahan; transfusi trombosit normal dengan melihat keparahan dari perdarahan; memberikan faktor von willebrand secara empiris. Jika diagnosa pasti sudah didapatkan, maka secara umum penatalaksanaan dari pasien dengan diagnosis penyakit von Willebrand terdiri dari tiga hal: pemberian obat-obatan; penggantian faktor von Willebrand; menghindari keadaan yang dapat menimbulkan perdarahan[8].
Salah satu obat yang dapat diberikan adalah desmopresin. Desmopresin merupakan vasopresin sintetik yang dapat meningkatkan kadar faktor VIII dan faktor von Willenbrand[8,9-11]. Mekanisme kerja dari obat ini adalah dengan menstimulus sekresi faktor von Willebrand oleh sel endotel yang akan segera berdampak pada peningkatan faktor VIII:C di dalam plasma[8]. Efek dari obat ini paling nyata muncul pada 1-2 jam setelah pemberian dan menetap selama 6 jam. Obat ini biasanya diberikan secara intravena dengan dosis 0,3 mikrogram secara infus dala waktu 15-30 menit. Beberapa efek samping dari pennggunaan obat ini diantanya: sakit kepala; mual; flushing; sakit dan pembengkakan pada lokasi penyuntikan; peningkatan tekanan darah ringan sehingga harus hati-hati menggunakan obat ini untuk penderita hipertensi atau penyakit jantung koroner[11].
Indikasi pemberian desmopresin adalah perdarahan ringan sampai sedang akibat penyakit von Willenbrand tipe I[11]. Pada pasien ini, respon yang didapatkan sangat baik yaitu BT pasien memendek dan kadar faktor VIII dan faktor von Willenbrandnya meningkat. Selain itu, pasien dengan tipe IIA dan IIM berespon baik dengan obat ini. Namun tidak seperti pada tipe I, penggunaan pada tipe IIA dan IIM trombosit tidak meningkat sampai kadar normal dan efek dari obat lebih singkat[8].
Pada pasien dengan penyakit von Willebrand tipe 2B, obat ini dikontraindikasikan karena dapat meningkatkan agregasi trombosit sehingga memperparah trombositopenia pada pasien. Obat ini juga tidak berespon pada penyakit tipe III terkait pada tipe ini, faktor von Willebrand yang ada di endotel tidak ada[8,9].
Pada kasus dengan desmopresin yang tidak berdampak dengan adekuat atau dikontaindikasikan, tatalaksana dapat dilakukan dengan penggantian faktor von Willebrand[9].  Penggantian ini dilakukan dengan transfusi plasma segar atau konsentrat plasma yang terkandung kompleks FVW-VIII seperti kriopresipitat[8]. Dalam menggunakan kripresipitat, dosis yang digunakan adalah kurang dari 10% FVW-VIII dan dinaikkan 50-70% untuk pasien dengan perdarahan mayor dan 30-50% untuk perdarahan minor. Dalam prosedur ini, efikasi dan keamanaan dari terapi sangat baik. Selain itu, efek samping juga sangat minimal[9].
Selain terapi yang telah dijelaskan diatas, terdapat beberapa obat lain yang juga berespon baik terhadap penyakit von Willenbrand diantaranya: antihistamin dan steroid; premarine; Epsilon Amnocaproic Acid (EACA); estrogen; IgG intravena. Hal yang tidak boleh dilupakan oleh dokter adalah edukasi pasien sebagai penatalaksanaan jangka panjang. Edukasi yang harus ada meliputi: pemberhentian penggunaan obat-obatan yang dapat memperpanjang BT; memberitahukan pasien tentang keadaan mereka dengan jelas; membawa atau memakai gelaang peringatan (warning)[8].

III.      PENUTUPAN
3.1  Kesimpulan
     Penyakit von Willebrand adalah penyakit akibat kekurangan faktor von Willebrand yang mnegakibatkan gangguan penggabungan trombosit dan jalur pembekuan yang ditandai dengan perdarahan. Penyakit ini merupakan penyakit herediter yang dialami oleh 1% dari populasi. Diagnosis harus ditegakkan dengan teliti baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium terutama untuk menentukan tipe dari kelainan yang dialami pasien. Tujuan mengetahui tipe kelainan pasien adalah untuk mengetahui terapi yang dapat diberikan misalnya: desmopresin atau transfusi. Selain terapi tersebut, edukasi pasien juga merupakan hal yang penting dilakukan oleh dokter sebagai penatalaksanaan jangka panjang.



DAFTAR PUSTAKA

(1)          Pusparini. Peran Faktor Von Willebrand dalam Hemostasis [internet]. 2011February [cited 12 April 2016]. URL available at:  http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/Willebrand.pdf
(2)          Suharti C. Dasar-dasar hemostasis. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et.al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam. 6th ed.  Jakarta: Interna Publishing; 2014. P. 2751-9
(3)          Aster J. Sistem Hematopoietik dan Limfoid. In: Kumar V, Cotran RS, and Robbins SL. Buku Ajar Patologi. 7th ed. Pendit BU, translator. Jakarta: EGC; 2007. P. 503-4
(4)          Center of desesase control and prevention. Von willebrand desease (VWD) data and statistic [online]. 2015 March 20 [cited 12 April 2016]. URL available at: http://www.cdc.gov/ncbddd/vwd/data.html
(5)          Vederichi AB, Lee CA, Berntorp EE,  Lilicrap D, Montgomery RR. Von Willebrand Desease Basic and Clinical Aspect. UK: Blackwell Publishing Ltd; 2011.
(6)          Hoffbrand AV dan Moss PA. Essential Haematology.  6th edition. UK: Blackwell Publishing Ltd, 2007.
(7)          Pollak ES. Von Willebrand Desease [online]. 2015 Dec 09 [cited 12 April 2016]. URL Available at  http://emedicine.medscape.com/article/206996
(8)          Sugianto. Penyakit Von Willebrand. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et.al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam. 6th ed.  Jakarta: Interna Publishing; 2014. P. 2773-7
(9)          Lilicrap D. Von Willebrand Desease: Advances in Pathogenetic Understanding, Diagnosis, and Therapy [online]. 2013 Nov 28 [cited 13 April 2016]. 122 (23). URL available at:  http://www.bloodjournal.org/content/122/23/3735.long?sso-checked=true#T1
(10)      National Institue of Health. The Diagnosis, Evaluation, and Management of Von Willebrand Desease [online].  2016 April 11 [cited 14 April 2016]. URL available at:  http://www.nhlbi.nih.gov/health-pro/guidelines/current/von-willebrand-guidelines/full-report/3-diagnosis-evaluation 
(11)      Rewoto HR. Antikoagulan, Antitrombotik, Trombolitik, dan Hemostatik. In: Gunawan dan Sulistia, editors. Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007. P. 518




Sabtu, 13 Juni 2015

Tingkat Pengetahuan Orang Tua dalam Mempengaruhi Cakupan Suplementasi Vitamin A Balita 6-59 Bulan di Indonesia



Tingkat Pengetahuan Orang Tua dalam Mempengaruhi Cakupan Suplementasi Vitamin A Balita 6-59 Bulan di Indonesia
 
                                   
Trigger :
Defisiensi vitamin A merupakan penyebab utama tingginya angka kebutaan di Indonesia. Di Indonesia pemberian suplementasi vitamin A dilakukan pada bulan Februari dan Agustus dengan sasaran anak usia 6-59 bulan. Cakupan pemberian vitamin A meningkat dari 71,5% (2007) menjadi 75,5% (2013). Namun demikian terdapat kesenjangan persentase anak umur 6-59tahun yang menerima kapsul vitamin A selama 6 bulan terakhir; tertinggi di NTB (89,2%) dan terendah di Sumatera Utara (52,3%). Menurut Anda faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan kesenjangan pemberian kapsul vitamin A pada berbagai daerah tersebut
Oleh:
ERLY TIBYAN WAHYULY
NIM: H1A014022
Jumlah kata: 1594
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
2015


Tingkat Pengetahuan Orang Tua dalam Mempengaruhi Cakupan Suplementasi Vitamin A Balita 6-59 Bulan di Indonesia.
Dengan berbagai kondisi yang melatarbelakanginya, kekurangan vitamin A dapat diderita oleh siapa saja terutama oleh anak-anak yang bermukim di tempat yang serba kekurangan. Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan berbagai jenis penyakit mata (Xeroftalmia). Keratomalasia merupakan salah satu jenis dari xeroftalmia dimana penyakit ini sering kali diderita oleh balita, terutama mereka yang berumur 6-36 bulan. Semakin muda usia saat terjangkit semakin parah penyakitnya dan angka kematian yang diakibatkan juga semakin tinggi (Arisman, 2010).  Kebutaan akibat kekurangan vitamin A  yang menimpa anak di dunia sampai tahun 1992 telah mencapai  1,5 miliar dan bertambah dari tahun 1995-2005 di Afrika sebanyak 2,55 juta anak, di Amerika 0,36 juta anak, di Asia-Selatan-Timur  1,01 juta anak, di Eropa 0,24 juta anak, di Negara bagian timur 1,2 juta anak, dan di Pasifik Barat 0,26 juta anak sehingga secara global penambahan tersebut mencapai 5,62 juta anak (WHO, 2009).
Sebagai intervensi dari masalah tersebut, hal yang dilakukan global adalah memberikan kapsul vitamin A dosis tinggi secara berkala. Suplementasi kapsul vitamin A dengan dosis tinggi ini pada berbagai penelitian telah mampu mencegah xeroftalmia dan mengurangi angka kematian bayi akibat berbagai infeksi yang berujung pada kekurangan vitamin A seperti diare dan campak (Arisman, 2009). Setelah program suplementasi kapsul vitamin A dijalankan, rata-rata mortalitas balita di Negara berkembang berkurang sebesar 23%-24%  (Beoton, et. Al, 1993 dan Wilson, et. Al, 2011). Hal ini juga terbukti dari hasil studi masalah gizi mikro di 10 kota pada 10 provinsi di Indonesia, hasil studi menyatakan bahwa prevalensi xeropthalmia pada balita setelah dijalankannya suplementasi kapsul vitamin A berkurang sebesar 0,20% yaitu dari 0,33% pada tahun 1992 menjadi 0,13% pada tahun 2006 (Kemenkes, 2014). Di Indonesia, program ini dilaksanakan secara serentak pada bulan februari dan agustus dengan sasaran bayi, anak balita, dan ibu nifas. Kapsul vitamin A dosis 100.000 IU (warna biru) untuk bayi, 200.000 IU (warna merah) untuk anak balita dan ibu nifas.
Namun, meskipun suplementasi kapsul vitamin A sudah tidak diragukan lagi, di Indonesia, program ini masih belum berjalan optimal melihat belum meratanya jumlah cakupan balita dan ibu nifas yang menerima suplementasi. Dari profil kesehatan Indonesia tahun 2013 Provinsi dengan cakupan pemberian vitamin A tertinggi  adalah DI Yogyakarta sebesar 98,88%, diikuti oleh Jawa Tengah sebesar 98,61% dan Bali sebesar 96,79%. Sedangkan cakupan terendah terdapat di Provinsi Papua sebesar 45,92% (Kemenkes, 2014). Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa terjadi kesenjangan yang cukup tinggi pada daerah-daerah tersebut, ada daerah yang hampir mencapai 100% tetapi disisi lain masih ada daerah yang cakupannya dibwah 50%. Berdasarkan teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003) faktor-faktor yang memengaruhi cakupan suplementasi kapsul vitamin A dibagi menjadi faktor pendukung (keterjangkauan pelayanan kesehatan), faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap orang tua), dan faktor penguat (peran kader). Dari berbagai penelitian, pengetahuan dan sikap orang tua sebagai penanggung jawab dari anak memiliki peran yang bermakna dalam mempengaruhi cakupan suplementasi kapsul vitamin A di berbagai daerah. Oleh karena itu, essay ini akan membahas bagaimana peran tingkat pengetahuan orang tua dalam memengaruhi cakupan supelementasi kapsul vitamin A dengan menghubungkan pengaruh tersebut dengan pendidikan di daerah Papua  beserta strategi untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan.
Pengetahuan orang tua yang baik meningkatkan cakupan suplementasi kapsul vitamin A
Secara umum,  orang tua sebagai penanggung jawab seorang anak memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Terkait dengan suplementasi kapsul vitamin A pada balita, ada beberapa aspek dari orang tua yang menentukan tinggi atau rendahnya cakupan supelementasi kapsul vitamin A di berbagai daerah. Salah satu yang utama dari aspek tersebut adalah tingkat pengetahuan orang tua/pengasuh mengenai pentingnya vitamin A bagi balita.
Angka cakupan anak dengan orang tua yang memiliki pengetahuan baik tentang pentingnya suplementasi vitamin A lebih tinggi dibandingkan dengan pengetahuan orang tua yang kurang mengerti tentang pentingnya suplementasi vitamin A. Dari penelitian yang dilakukan oleh pangaribuan, et al (2002), di daerah terpencil di Indonesia, balita yang mengikuti program suplementasi kapsul vitamin A sebesar 86,4% berasal dari orang tua yang mengerti tentang pentingnya vitamin A pada balita (dalam hal ini orang tua sebagai narasumber dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dengan baik) dan hanya 13,6% dari orang tua balita yang mengikuti suplementasi vitamin A yang pengetahuan tentang pentingnya vitamin A pada balita kurang baik (dalam hal ini narasumber menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dengan kurang tepat bahkan tidak bisa menjawab). Di daerah perkotaan, anak yang mengikuti program suplementasi vitamin A 62,4% berasal dari orang tua dengan pengetahuan yang baik dan 37% memiliki pengetahuan kurang baik (Grafik-1).
 
Orang tua yang mengerti dan memahami pentingnya vitamin A pada balita akan lebih tergerak untuk membawa anaknya ke pelayanan kesehatan tempat pemberian kapsul vitamin A, baik itu posyandu, puskesmas, dan tempat praktek dokter umum. Hal ini dibuktikan dari frekuensi kunjungan orang tua yang memiliki pengetahuan baik, tergolong rutin atau tetap dalam mengikuti program suplementasi kapsul vitamin A dibandingkan dengan orang tua dengan pengetahuan yang kurang baik yang tergolong jarang atau tidak rutin dalam mengikuti program suplementasi kapsul vitamin A (Pangaribuan et, al, 2002).
Terkait hal tersebut, beberapa penelitian membuktikan bahwa rendahnya pengetahuan orang tua tentang vitamin A dan program suplementasi kapsul vitamin A  secara langsung berhubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan orang tua. Hal ini dibuktikan oleh Semba et al, (2007;2009;2010) yang menyatakan bahwa di Ethiopia, India, dan Bangladesh anak balita dari ibu atau ayah dengan pendidikan 1–3 tahun, 4–6 tahun, 7–9 tahun dan ≥10 tahun lebih tinggi cakupannya dibandingkan dengan anak balita yang ibu atau ayahnya tidak bersekolah. Khususnya di Indonesia (tabel 1), cakupan yang terendah yaitu 47,7% berasal dari kepala keluarga yang tidak tamat SD sedangkan yang tertinggi yaitu 62,6% berasal dari kepala keluarga yang tamat SMA (Sandjaja dan Ridwan, 2012) dan didukung lagi oleh Ridwan (2010) yang menyatakan bahwa balita dengan orang tua yang berpendidikan kurang dari SMP beresiko 1,262 kali tidak mendapatkan kapsul vitamin A dibandingkan dengan balita dengan orang tua yang berpendidikan SMP ke atas.
Demikian pula yang terjadi di Provinsi Papua, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Afrianti (2014) melaporkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan orang tua mengenai pentingnya asupan vitamin A dengan status gizi anak di Provinsi Papua. Dari profil kesehatan Indonesia 2013, provinsi papua merupakan provinsi dengan cakupan suplementasi kapsul vitamin A terendah di Indonesia yaitu kurang dari 50%. Jika dikaitkan dengan apa yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa rendahnya pengetahuan orang tua diakibatkan oleh rendahnya pendidikan orang tua, hal ini sesuai dengan data penduduk Papua yang berstatus kawin tergolong kedalam penduduk dengan status pendidikan rendah yaitu 82,86% tidak bersekolah (BKKBN, 2012; BPS, 2014). Oleh karena itu, untuk tercapainya pemerataan cakupan program suplementasi kapsul vitamin A, pemerintah harus melakukan berbagai upaya yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai vitamin A dan program suplementasi kapsul vitamin A.

Pendidikan Gizi di meja 4 posyandu dan diluar meja 4 posyandu sebagai salah satu upaya peningkatan pengetahuan orang tua
       Mengingat sejak tahun 1996, pemberian kapsul vitamin A dintegrasikan kegiatan imunisasi, posyandu memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan suplementasi kapsul vitamin A di berbagai daerah (WHO, 1999). Hal ini dapat dilihat dari hasil survei gizi mikro 2006 pada tujuh provinsi di Indonesia. Dengan rata-rata cakupan suplementasi kapsul vitamin A 87%, hampir semua anak balita menerima kapsul vitamin A di Posyandu, hanya sekitar 1% anak balita yang mendapatkan kapsul vitamin A di rumahnya (tabel 2). Hal yang sama juga dilaporakan di Afrika Barat dan Tengah, bahwa ketika program suplementasi kapsul vitamin A ini diintegrasikan dengan kegiatan imunisasi di posyandu, cakupan balita yang menerima suplemen meningkat dari rata-rata 50% pada tahun 2002 menjadi rata-rata 80% pada tahun 2006. Tetapi, husus di wilayah Kenya cakupan menurun hingga 20% karena sejak tahun 2007 tidak diintegrasikan ke dalam kegiatan imunisasi di posyandu (Aguayo, 2007). Oleh karena itu, di daerah-daerah dengan cakupan yang rendah peran posyandu harus benar-benar diperhatikan.
Berkaitan dengan rendahnya pengetahuan orang tua sebagai salah satu faktor rendahnya cakupan suplementasi kapsul vitamin A di beberapa daerah, hal yang perlu ditingkatkan di  posyandu adalah meningkatkan peran meja 4 yaitu meja untuk pendidikan (gambar 1). Terutama di daerah dengan cakupan suplementasi kapsul vitamin A rendah, petugas harus dapat semaksimal mungkin  menerangkan pentingnya pemenuhan gizi terutama mengenai vitamin A dan suplementasi vitamin A (Almatsier, 2010).
 

 


              Gambar 1- 5 meja posyandu (Zakiah, 2014)
            Selain itu, kegiatan penyebarluasan pengetahuan tentang vitamin A dan program vitamin A di luar meja 4 juga harus dimaksimalkan. Kegiatan sosialisasi ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Diantaranya:
1.         Sosialisasi yang bersifat rutin/berkala
Misalnya: menyelenggarakan pelatihan di berbagai daerah, penyebaran informasi yang disisipkan diberbagai kegiatan, mngikutseratakan organisasi masyarakat.
2.         Sosialisasi yang bersifat periodik
Misalnya: beberapa bulan menjelan pemberian kapsul vitamin A memasang spanduk di berbagai tempat yang strategis, menyiarkan di radio/televisi, terutama untuk  mwilayah yang sulit terjangkau, memberikan informasi kepada kepala dusun, tokoh masyarakat dan agama setempat, dan tidak kalah penting sosialisasi pada hari pemberian kapsul vitamin A yaitu pengumuman secara masal misalnya pengumuman dari masjid, gereja, mobil puskesmas keliling, dan sarana-sarana yang dapat digunakan.
Dengan begitu diharapkan masyarakat akan lebih termobilisasi dan berpartisipasi dengan efektif dalam pemberian kapsul vitamin A yang secara langsung akan meningkatkan cakupan dari program tersebut (Depkes, 2009).
            Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa factor pengetahuan orang tua mengenai vitamin A dan supelementasi kapsul vitamin memiliki peran tersendiri dalam mempengaruhi jumlah cakupan suplementasi kapsul vitamin A di berbagai daerah. Cakupan suplementasi kapsul vitamin A pada balita dengan orang tua yang memiliki pengetahuan baik akan lebih tinggi dibandingkan daerah dengan pengetahuan orang tuanya kurang. Namun, hal ini tentu saja dapat ditanggulangi dengan berbagai cara diantaranya dengan meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai vitamin A dan program suplementasi kapsul vitamin A pada balita baik sebelum maupun pada hari pemberian kapsul vitamin A tersebut  di posyandu, terutama peran meja 4 posyandu dimana posyandu merupakan tombak pembangunan gizi balita di Indonesia.



Daftar Pustaka

Afrianti, W., 2014.  HuStatus Ekonomi Orang tua terhadap Kejadian Stunting pada Anak Sekolah Usia 6-12 Tahun di Provinsi Papua. Abstrak Only. Available at: Perpustakaan Universitas Esa Unggul website <http://digilib.esaunggul.ac.id> [Accessed 28 April 2015]
Aguayo, V.M., Garnier, D., Baker, S.K., 2007. Drops Of Life Vitamin A Supplementation for Child Survival Progress and Lessons Learned in West and Central Africa. [e-book]. Afrika : UNICEF/Giamcomo Pirozzi. Available at: Unicef Library website < http://www.unicef.org>
Arisman, M.B., 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur Kehidupan. Ed. 2. Jakarta: EGC
Badan Pusat Statistik, 2014. Statistik Indonesia 2014. [e-book]. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Available at: Perpustakaan Badan Pusat Statistik website <http://bps.go.id>  [Accessed 28 April 2015]
Beaton, G.H., et al., 1993.  Effectiveness of vitamin A supplementation in the control of young child morbidity and mortality in developing countries.  Art Series Nutrition. [e-journal] 13. Available at: United Nation University Library <http://archive.unu.edu/unupress/food/8F154e/8F154E04.htm> [Accessed 19 April 2015]
BkkbN, 2012.  Tren Fertilitas dan Keluarga Berencana Berdasarkan Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2006 – 2012 di Provinsi Papua. [pdf]. Available at: <http://www.bkkbn.go.id/Dokumen%20Materi/BAHAN%20RAKERNAS/Factsheet%20Fertiltas%20dan%20Keluarga%20Berencana/Factsheet%20Papbar.pdf> [Accessed 28 April 2015]
Departemen Kesehatan RI., 2009. Panduan Manajemen Suplementasi Kapsul Vitamin A. [e-book]. Jakarta : Micronutrient Initiative. Available at: Perpustakaan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia website <http://www.depkes.go.id> [Accessed 19 April 2015]
Herman, S. 2007. 2007.  Masalah Kurang Vitamin A (KVA) dan Prosper Penanggulangannya. Media Litbang Kesehatan. [e-journal] 17(4). Available at: Perpustakaan Litbangkes Kemenkes RI website <http://ejournal.litbang.depkes.go.id/> [Accessed 22 April 2015]
Hidayat, K dan Widjanarko, P. 2008. Reinventing Indonesia Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Jakarta: Mizan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Profil kesehatan Indonesia 2013. [e-book] Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Available at:  Perpustakaan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia website <http://www.depkes.go.id> [Accessed 19 April 2015]
Pangaribuan, R., et al., 2002. Vitamin A capsule distribution to control vitamin A deficiency in Indonesia: effect of supplementation in pre-school children and compliance with the programme. Public Health Nutrition, [e-journal] 6 (2), pp. 209-216. Available at: Cambridge Journal Library website < http://journals.cambridge.org/> [Accessed 19 April 2015]
Ridwan, E., 2013. Cakupan Suplementasi Kapsul Vitamin A dalam Hubungannya dengan Karakteristik Rumah Tangga dan Akses Pelayanan Kesehatan pada Anak Balita di Indonesia Analisis Data Riskesdes 2010. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. [e-buletin] 16(1). Available at: Perpustakaan Litbangkes Kemenkes RI website <http://ejournal.litbang.depkes.go.id/> [Accessed 19 April 2015]
Sandjaja dan Ridwan E., 2012. Cakupan Suplementasi Kapsul Vitamin A pada Ibu Masa Nifas dan Faktor-faktor yang Memengaruhi di Indonesia Analisis Data Riskesdes 2010. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. [e-buletin] 15(1). Available at: Perpustakaan Litbangkes Kemenkes RI website <http://ejournal.litbang.depkes.go.id/> [Accessed 19 April 2015]
Semba, R.D., et al., 2007. Coverage of the national vitamin A program in Ethiopia. J. Top. Pediatrics, [e-journal] 54(2), pp. 141-144. Available at: The U. S. National Institute of Health’s National Library website <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/> [Accessed 21 April 2015]
Semba, R.D., et al., 2010. Coverage of Vitamin A Capsule Programme in Bangladesh and Risk Factors Associated with Non-receipt of Vitamin A. Jurnal Health Popular Nutrition, [e-jurnal] 28(2), pp. 143-148. Available at: The U. S. National Institute of Health’s National Library website <http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/> [Accessed 21 April 2015]
Semba, R.D., et al., 2009. The Role of Expanded Coverage of the National Vitamin A Program in Preventing Morbidity and Mortality among Preschool Children in India [pdf]. Available at: http://jn.nutrition.org/content/early/2009/11/25/jn.109.110700.full.pdf [Accessed 21 April 2015]
Wilson, E.M., et al., 2011. Vitamin A supplements for mortality, illness, and blinding in children ageed under 5. Systemic Review and Meta-analysi, [e-journal] 343: d53094. Available at: The BMJ Library website <http://www.bmj.com/thebmj> [Accessed 19 April 2015]
World Health Organization, 2009. Global Prevalence of vitamin A deficiency in population at risk 1995-2005 WHO Global Database on Vitamin A Deficiency, [e-book] Geneva: World Health Organization. Available at: WHO Library website <http://www.who.int/>  [Accessed 19 April 2015]
World Health Organization, 1999. Distribution of vitamin A during national immunization days, [e-book] Geneva: World Health Organization. Available at: WHO Library website <http://www.who.int/>  [Accessed 28 April 2015]
Zakiah, 2014., Pembinaan Kader Posyandu Lengkap. [Image online]. Available at: <http://www.slideshare.net/mobile/dr_Qiqi/pembinaan-kader-posyandu-lengkapzakiah> [Accessed 28 April 201]